Homestay, Penginapan Hemat Kian Menggeliat

homestay2

Jenuh menginap di hotel? Atau ingin menghemat pengeluaran kala bermalam di daerah tertentu? Guesthouse, homestay, dan penginapan bed and breakfast (B&B) bisa jadi pilihan.

Tawarannya lebih personal dan yang pasti ekonomis. Penginapan ala rumahan itu rupanya punya ceruk pasar besar.Potensi pasar yang besar dari penginapan rumahan berharga terjangkau dirasakan Bangka Bed & Breakfast.

Ardha Prapanca Sugarda, General Manager Bangka Bed & Breakfast, yakin potensi pasar homestay dan guesthouse besar. Sebab, keduanya menawarkan layanan yang lebih personal ketimbang layanan dari hotel.

Saat ini Indonesia merupakan destinasi para pelancong dari dalam dan luar negeri. Mereka menjadikan Ibu Kota sebagai tempat transit sebelum pergi ke kawasan wisata tujuan. Ardha menilai di lokasi transit, para pelancong tidak akan menghabiskan dana besar. Mereka condong mencari tempat menginap berharga ekonomis.Bangka B&B menawarkan tarif kamar US$28 per malam untuk single bed hingga US$45 per malam untuk double bed dilengkapi kamar mandi di dalam. Juga di ta warkan tarif penginapan mingguan. “Selama ekonomi Indonesia tumbuh, peluang guesthouse semakin besar,” ujar Ardha.

Dibandingkan dengan hotel bujet, penginapan kelas rumahan di Jakarta memang bersaing ketat. Rentang harga yang ditawarkan sama. Di hotel bujet Anda bisa dapatkan Rp300.000 per malam, begitu juga dengan di penginapan rumahan.

Ardha tidak bermasalah dengan persaingan harga ini. Bahkan, persaingan antara hotel bujet, homestay, dan B&B bagus karena dapat memberikan banyak pilihan kepada pasar. Maka, agar dapat memenangkan pasar, hotel dan penginapan kelas rumahan harus memiliki keunikan tertentu di bidang layanan dan fasilitas.

Bangka B&B, misal. Lokasinya yang dekat dengan deretan kafe di Kemang jadi tawaran menarik. Di sisi layanan, Bangka B&B berusaha memberikan layanan maksimal akan kebutuhan para tamu.

Persaingan yang ketat antartempat inap dalam satu kawasan tidak menyurutkan bisnis Bangka B&B. Terbukti, bisnisnya tumbuh, dari tiga kamar menjadi delapan kamar, di tengah menjamurnya tempat-tempat inap di Kemang. Rata-rata tingkat okupansi Bangka B&B 60%-70% saban bulan.

“Hampir sepanjang tahun kami cukup sibuk, walau tidak selalu penuh. Di setiap bulan ada saja 1-2 hari kamar yang terisi penuh,” kata Ardha. Targetnya, rata-rata tingkat okupansi pada tahun ini sebesar 75% per bulan.

Karena pasar B&B besar, Ardha berencana membangun B&B di Bali dan Jakarta pada tahun depan. Di Bali, lahan sudah tersedia dan tengah dalam persiapan pembangunan. Ardha juga berencana mengelola properti beberapa relasinya.

Selain di Jakarta, Surabaya juga mengundang warga negara Indonesia dan asing untuk datang. Potensi pasar budget traveller yang besar di Surabaya patut dilirik. Salah satu penginapan rumahan yang berdiri di kota pahlawan itu adalah Krowi Inn. Penginapan yang berdiri di Jalan Ciliwung 66, Surabaya, ini dibuka pada Desember 2012.

 

Banyak orang memilih inap di homestay/guesthouse karena tarifnya lebih murah dibandingkan dengan tarif hotel. Salah satu keuntungan menginap di penginapan rumahan yakni mendapat layanan rumahan yang personal. Penginap dari negara lain juga dapat merasakan tinggal di rumah ala Indonesia.

 

PERSAINGAN HOTEL BUJET

Gemuknya pasar kelas menengah yang kerap melakukan perjalanan bisnis dan wisata dengan keterbatasan budget menyebabkan para pengembang maupun operator tertarik memperbanyak portofolio mereka di sektor hotel bintang dua.

Salah satu operator yang rajin menambah portofolio tersebut adalah PT Intiwhiz International, anak usaha PT Intiland Development Tbk yang khusus bergerak di bidang usaha hospitality dan jasa pengelolaan bisnis perhotelan.

Ndang Mulyadi, Direktur Operasional Intiwhiz, mengatakan dari 33 hotel yang akan dioperasikan perseroan sampai 2015, 60% di antaranya merupakan berada di kelas hotel bujet, dengan bran Intiwhiz.

“Mengembangkan dan mengelola hotel bujet memiliki keuntungannya sendiri, dengan tingkat okupansi lumayan tinggi dan investasi tidak terlalu besar, lebih cepat pula balik modal. Lagipula, larisnya tiket penerbangan murah dapat dijadikan indikasi “gemuknya” pasar konsumen untuk akomodasi yang pas di kantong, ” ujar Ndang.

Sebagai gambaran, biaya pembangunan hotel Intiwhiz berkisar Rp250 juta per kamar. Jika lahan yang ditempati memiliki luas 1.000 m2, maka perseroan dapat mendirikan sebuah hotel berkapasitas 120 kamar. Dengan demikian, biaya pembangunannya sekitar Rp30 miliar, di luar biaya lahan.

Formula ideal yang dirancang untuk hotel bujet ini adalah jumlah kamar 120-150, di atas lahan 1.000 m2- 1.500 m2. Luas masing-masing kamar berkisar 16 meter persegi.

Ndang memprediksi tingkat okupansi Intiwhiz kurang lebih 75%-80%, bahkan bisa penuh di masa peak-season, bergantung pada kondisi pasar di lokasinya. Dengan begitu, dia menghitung titik impas atau BEP (break even point) dapat dicapai setelah 6-7 tahun.

Namun, Ndang mewanti-wanti para pemilik maupun operator hotel bujet untuk memastikan lokasi yang dipilih benar-benar mudah diakses, baik dari segi transportasi, tempat makan, sampai tempat hiburan.

Terkait persaingan dengan penginapan alternatif lain seperti homestay dan apartemen sewa harian, Ndang mengungkapkan pihaknya tidak terlalu memusingkannya. “Segmen dan tarifnya sudah beda. Persaingan pasti ada, tapi kami cukup percaya diri dengan konsep yang kami usung, yakni tetap memprioritaskan kenyamanan istirahat para tamu,” jelasnya.

Persaingan antara hotel bujet atau bintang dua dengan homestay maupun apartemen sewa harian secara umum tidak terlalu runcing. Meyriana Kesuma, manajer riset dan konsultasi Coldwell Banker Indonesia mengatakan ketiga jenis penginapan tersebut menyasar segmen yang berbeda.

Menurutnya, hotel bujet yang biasanya dioperasikan oleh operator hotel lokal, nasional, maupun internasional, cenderung membidik para pelancong dengan tujuan bisnis maupun wisata dengan lama inap sekitar satu sampai dua hari.

Apartemen sewa harian, di sisi lain, lebih disukai oleh mereka yang bermaksud menginap lebih lama, yakni sekitar 3-5 hari, dengan jumlah kamar yang juga lebih banyak. Penginapan jenis ini digemari oleh keluarga, karena terdapat fasilitas seperti dapur kering untuk memasak.

Jenis yang terakhir, yakni homestay atau akrab juga disebut guesthouse, sering dipilih oleh para pelancong backpacker, atau mereka yang menginginkan kenyamanan rumah di sela perjalanan mereka.

“Perbedaan segmen tersebut juga dipicu perbedaan layanan yang didapat. Hotel bujet, misalnya, meskipun tidak selengkap bintang tiga dan seterusnya, masih memiliki fasilitas sepertihousekeeping dan ranjang berkualitas tinggi. Ini yang belum tentu ada di guesthouse dan apartemen sewa harian,” jelas Meyriana.

Kemunculan penginapan-penginapan alternatif ini, ungkap Meyriana, merupakan jawaban atas meningkatnya aktivitas ekonomi, pariwisata, maupun MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) dalam suatu daerah.

“Para pelancong yang merasa bahwa tarif hotel bintang tiga di daerah tersebut terlalu mahal untuk sekadar tidur, akhirnya berpaling ke hotel bujet, bahkan apartemen sewa harian dan homestay,” katanya.

Dari riset Coldwell Baker Indonesia, rerata tarif hotel bintang tiga di Jakarta pada kuartal kedua tahun ini adalah RP672.000 per malam. Dengan demikian, tidak heran jika tingkat okupansi hotel bujet lumayan bagus, yakni sekitar 60%-70%, bahkan penuh saat peak season seperti libur lebaran dan tahun baru.

Sebagai perbandingan, hasil survei properti komersial periode kuartal II/2013 yang dilansir Bank Indonesia mencatat, tingkat okupansi 27.232 kamar hotel bintang tiga, empat, dan lima di Jabodebek (Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi) mencapai rerata 72,47%.

sumber : http://koran.bisnis.com/

sumber foto : http://www.rumahminimalis123.web.id/

1 thought on “Homestay, Penginapan Hemat Kian Menggeliat

  1. Pingback: Desain Taman Rumah Desa – Brook

Leave a comment